10 Okt 2015

KOTAMU ATAU KOTAKU MASA DEPAN KITA

KOTA memang kejam, selebihnya kejam. Sekarang yang kita perlukan hanya beradaptasi, kalau kau seekor binatang melata, mimikri mungkin bisa dijadikan opsi. Terlepas dari itu, kau juga tahu, kau hanya manusia. Selebihnya kau manusia.

Ya, kita bicara mengenai manusia. Kau manusia, tentu saya juga.

Kota yang saya bicarakan ini, Fa, ialah kota yang banyak menjanjikan kebahagiaan di masa depan. Kota bukan secara harfiah. Bukankah kota sama halnya dengan masa depan; yang ingin kita kunjungi bersama-sama dengan segudang mimpi dan berbahagia nanti. Dan kota ialah masa depan itu. Desa ialah masa lalu yang akan kita lupakan setelah kita tahu, misalnya, hidup ialah pembangunan perwujudan dari mimpi itu.

Kau tahu? Saya sering ragu apa kotamu--masa depanmu--akan menjanjikan kebahagiaanmu. Rumah yang keterlaluan mewah, mobil, tunjangan kesehatan yang memadai dan lain-lain. Atau sebaliknya. Kontrakan empat kali empat yang catnya pucat, kendaraan yang menagih setoran tiap bulan, atau puskesmas yang penanganannya kurang tangkas.

Masa depan memang kejam. Selebihnya kejam. Kau baik-baiklah.... Banyak lelaki yang menjanjikan kebahagiaan di kotamu--di masa depanmu--tapi satu hal: janji mempunyai kerabat dekat yaitu ingkar. Maka perkenalkan saya, ialah salah satu leleaki itu. Yang akan membuatmu mabuk di persimpang jalan; sebab cinta saya ialah cinta jalanan. Cinta kota yang penuh goncangan.

Akan saya ceritakan padamu mengenai masa depan:

Magrib tadi, saya baru saja berdiskusi dengan Tuhan, tentu membicarakan tentang nasib saya dan kau di masa depan. Kita seperti di dalam bus perjalanan, kataNya, saya tak perlu khawatir mengenai apa yang saya tuju di masa depan itu. TUHAN adalah Sopir, pemegang lingkar setir yang handal. Saya hanya perlu pegangan yang erat, kalau perlu karat yang menempel untuk pegangan merekat pada telapak tangan, sebab goncangannya sangat kuat. Jika kamu bertahan, di depan banyak sekali pilihan, turunlah sesukamu, lanjutNya lalu.

“Mari, Fa, kita berpegangan...”

8 Okt 2015

KEPADA : Fa...

Aku masih penikmat Sepakbola, Suka es teh manis dan seperti kebanyakan pria yang kau tau : bajingan. Bagimu, lelakimu, (mungkin) calon suamimu, saya tak akan membuat kau percaya, jika saya adalah lelaki terbaik di dunia. Tidak. Ini bukan perihal untung atau rugi seperti rumus managment yang kau pelajari di sekolah. Bukan. Sebab, jika sekali saja kau bertanya: Apa untung atau ruginya menikah dengan saya. Maka, akan saya jawab dengan mulai menghitung kekurangan dari dalam diri saya. Itu tak sedikit, Fa... Banyak. Saya perlu butir butir kelereng untuk menghitungnya seperti anak kecil.

Kau temui, dan saya tahu betul apa yang harus saya penuhi sebagai laki-laki, calon suamimu. Memang tidak muluk, tidak harus hapal kitab, atau membaca huruf arab tanpa harokat. Tapi....
Begini saja, Fa... keuntungan mumpuni yang saya punya--jika kau menikah dengan saya--ialah saya mampu menulis list semua metafora kepada semua wanita. Kau pasti tambah geram, bukan? Syukurlah....

Saya mampu mengambil semua hati wanita yang saya inginkan dengan gombalan yang super menerbangkan ke awan. Pasti kau tambah marah, bukan? Biarlah....

Namun, ada satu hal yang sampai saat ini saya menyesal menjadi saya: itu yang menyebabkan kau tak percaya.

Fa,

Yang harus kau percaya dari semua bualan yang saya tuliskan. Semoga kau dapat menerima, saya, sebagai pengarang, yang tak ada kekasih lain yang saya setiakan kecuali kamu dan buku-buku.

Sampainya surat ini, kepadamu. Satu hal yang hanya bisa buat saya percaya sampai detik ini: Tuhan tentukan apa yang harus ditentukan. Termasuk nasib pengarang, yang menurutmu (hanya) sebuah bualan.