Salah satu pertanyaan standar orang
dewasa ketika bertemu anak-anak adalah, "Kalau
sudah besar mau jadi apa?" Atau, "Cita-citanya
mau jadi apa?" Anak kecil biasanya akan
menjawab dengan jawaban standar seperti,
insinyur, dokter, atau astronot.
Namun di antara anak kecil yang menjawab
pertanyaan standar dengan jawaban standar,
biasanya juga terselip seorang anak yang
menjawab dengan jawaban nyeleneh. Salah satu
jawaban nyeleneh yang biasa keluar dari mulut
anak kecil di Indonesia adalah pemain sepakbola.
Saya salah satu anak nyeleneh yang terselip di
antara anak-anak dengan jawaban standar
tersebut. Dan saya yakin, saya bukan satu-
satunya anak nyeleneh. Tentu ada banyak anak-
anak lain yang bercita-cita menjadi pemain
sepakbola ketika kecil seperti saya.
Ketika saya menjawab seperti itu, sebagian
orang dewasa akan tertawa layaknya melihat
anak kecil yang sedang bertingkah lucu.
Sebagian lainnya akan terang-terangan
menyanggah dengan mengatakan, "Pemain
sepakbola mah bukan cita-cita, kalau cita-cita itu
harus lebih tinggi."
Saya tidak terlalu ambil pusing soal tanggapan
tersebut. Ketika itu saya tidak pernah mengerti
kenapa saya tidak bisa menjadikan sepakbola
sebagai cita-cita. Namun hal tersebut juga tidak
membuat saya mengubah jawaban saya ketika
ditanya pertanyaan yang sama di lain waktu.
Saya akhirnya mulai mengerti dan mencari
alternatif jawaban lain ketika kenyataan mulai
memberi tahu saya banyak hal. Ada banyak hal
yang harus saya korbankan jika saya benar-benar
ingin menjadi pemain sepakbola. Saya harus
memilih antara sekolah atau sepakbola. Banyak
berlatih sepakbola akan membuat sekolah saya
terpinggirkan dan tentu saja saya tidak
mendapatkan pendidikan yang cukup.
Dari sini akan muncul satu risiko yang sangat
besar menanti saya jika saya memilih jalan hidup
sepakbola. Dengan bekal pendidikan yang tidak
cukup, apa jadinya saya jika ternyata nanti saya
gagal menjadi pemain sepakbola. Maka ada satu
pertaruhan hidup yang harus saya terima ketika
saya masuk ke dunia sepakbola.
Orang tua mana pun pasti tidak akan rela
membiarkan anaknya harus menghadapai hal itu
di usia yang sangat muda. Maka bukan hal yang
aneh ketika banyak orang tua yang tidak
mengizinkan anaknya untuk menjadi pemain
sepakbola.
Hingga memasuki masa remaja, tidak selangkah
pun saya menuju cita-cita saya tersebut.
Kenyataan akhirnya memaksa saya untuk
mengatakan bahwa saya tidak bisa lagi mengejar
cita-cita saya.
Saya tidak pernah masuk ke sekolah sepakbola.
Pelatihan sepakbola yang saya dapat di sekolah
pun hanya seadanya. Maka kemampuan saya
bermain sepakbola pun hanya segitu-segitu saja
hingga sekarang. Sama sekali tidak cukup untuk
bisa menjadi pemain profesional.
Kesal, tentu saja saya merasa kesal menghadapi
kenyataan ini. Bukan soal berhasil atau gagalnya
saya menjadi pemain sepakbola. Toh , belum
tentu juga saya memiliki bakat yang cukup hebat
untuk menjadi pemain sepakbola. Hanya saja
saya merasa kesal karena saya belum
mencobanya. Saya gagal tanpa sekalipun
mencoba. Kalau saya gagal setelah mencoba
mungkin saya tidak akan merasa kesal seperti
ini.
Lagi-lagi saya yakin saya bukan satu-satunya
anak yang memiliki pengalaman seperti ini.
Banyak anak-anak lain yang juga mengalami
pengalaman serupa. Banyak hal yang
menyebabkan hal tersebut terjadi. Namun saya
tidak mau membicarakan penyebab-penyebab
tersebut di sini. Saya hendak membicarakan
Jepang.
Di Jepang, sepakbola merupakan salah satu
olahraga populer. Sama seperti di Indonesia,
banyak anak-anak di Jepang yang juga bercita-
cita menjadi pemain sepakbola. Hanya saja
bedanya, anak-anak di Jepang berada di negara
yang memiliki sistem yang baik untuk
memuluskan jalan setiap anak-anak menuju cita-
cita mereka.
Sama seperti di Indonesia, juga banyak anak-
anak di Jepang yang akhirnya gagal menjadi
pemain sepakbola. Mereka akhirnya harus beralih
profesi yang lebih sesuai dengan kemampuan
mereka. Hanya saja mereka sudah mendapatkan
kesempatan untuk mencoba. Sehingga gagal pun
tidak menghadirkan penyesalan yang besar bagi
mereka.
Juga sama dengan anak-anak Indonesia, tentu
ada pengorbanan besar juga yang harus
dilakukan anak-anak di Jepang jika ingin menjadi
pemain sepakbola. Hanya saja pengorbanan ini
tidak sampai membuat mereka harus
mengorbankan pendidikan dan mempertaruhkan
hidup mereka.
Mereka hanya perlu mengurangi waktu bermain
mereka di waktu kecil. Waktu sepulang sekolah
yang bisa mereka gunakan untuk bermain
bersama teman diubah menjadi waktu latihan di
lapangan sepakbola.
Anak-anak di Jepang juga menjalani jenjang
pendidikan yang tidak jauh berbeda dengan
Indonesia. 6 tahun di fase sekolah dasar, 3 tahun
di sekolah menengah, dan tiga fase di sekolah
menengah atas. Mereka tetap bisa menjalani
setiap fase pendidikan ini sambil mengejar mimpi
mereka menjadi pemain sepakbola.
Pada fase sekolah dasar, rata-rata sekolah dasar
di Jepang akan selesai jam belajar antara pukul
14.00-15.00. Setelah waktu ini, anak-anak akan
memiliki kesempatan untuk mengisi waktu
dengan kegiatan yang mereka mau.
Jika mereka memilih sepakbola, ada dua cara
bagi mereka untuk menjalaninya. Mereka bisa
bergabung dengan salah satu klub J-League atau
mereka juga bisa bergabung dengan klub
sepakbola yang dibentuk di sekolah masing-masing.
Setiap klub sepakbola profesional di Jepang
memiliki klub usia muda yang dibagi menjadi 3
kelompok. Ketiga kelompok ini disebut Junior
(U12), Junior youth (U15), dan Youth (U18).
Maka anak-anak sekolah dasar akan masuk ke
kelompok Junior jika mereka ingin berlatih di klub
sepakbola Jepang.
Ada keuntungan dan kerugian dari kedua pilihan
ini. Memilih berlatih di klub J-League akan
membutuhkan biaya yang lebih besar. Selain
harus membayar iuran, mereka juga
membutuhkan biaya transportasi dari sekolah
menuju tempat latihan. Keuntungannya mereka
akan dilatih oleh pelatih yang lebih berkualitas,
dengan fasilitas yang lebih lengkap dari yang
mereka dapat di sekolah.
Meski tidak sebaik jika bergabung dengan salah
satu klub profesional, berlatih bersama klub
sekolah juga bukan pilihan yang buruk. Mereka
tetap akan mendapatkan porsi latihan yang tidak
jauh berbeda. Tenaga pelatih memang tidak
semewah di klub namun setidaknya para pelatih
di sekolah juga memiliki ilmu-ilmu dasar melatih.
Mereka juga tetap bisa berkompetisi antar
sekolah. (catatan: anak yang sudah bergabung di
klub J-League tidak boleh mengikuti kompetisi
sekolah).
Rata-rata klub Junior J-League memiliki jadwal
latihan 2 kali seminggu serta hari pertandingan di
sabtu dan minggu. Jika saya ambil contoh salah
satu klub, Kashiwa Reysol, mereka menggelar
latihan untuk kelompok junior setiap hari senin
dan rabu pukul 17.30. Anak-anak sekolah dasar
memang belum dibebankan untuk memilih salah
satu kegiatan. Mereka akan cenderung diberikan
kebebasan untuk mencoba banyak hal hingga
menemukan satu yang paling disuka. Karena itu,
latihan dua kali satu minggu dirasa cukup agar
anak-anak dapat menggunakan waktu di hari lain
untuk kegiatan lainnya.
Tidak berbeda dengan latihan di klub profesional,
latihan yang dilakukan oleh klub sekolah pun
tidak jauh berbeda. Rata-rata klub sekolah dasar
juga melakukan latihan dua kali satu minggu.
Latihan mungkin bisa dilakukan sejak pukul
16.00, karena setiap anak tidak membutuhkan
waktu lama untuk berpindah dari sekolah ke
tempat latihan.
Memasuki fase sekolah menengah, rata-rata
sekolah akan berakhir kegiatan belajarnya pada
pukul 15.00-16.00. Pada fase ini anak-anak
sudah harus mulai serius menjalani kegiatannya.
Jika memang serius ingin bermain sepakbola,
maka mereka harus meluang lebih banyak waktu
dan tenaga ketimbang saat di sekolah dasar.
Rata-rata anak-anak akan menghabiskan 3 hari
untuk latihan serta akhir pekan untuk hari
pertandingan. Karena waktu kegiatan sekolah
yang berakhir lebih sore, maka latihan pun harus
dimulai lebih larut. Akademi Kashiwa Reysol baru
memulai latihan untuk kelompok Junior Youth
mereka pada pukul 19.30 malam.
Sama seperti saat sekolah dasar, mereka juga
memiliki kesempatan untuk memilih bergabung
dengan klub profesional atau bermain di klub
sekolah. Klub sepakbola di sekolah juga
memberikan porsi latihan yang serupa. Setiap
sekolah juga mengikuti kompetisi yang biasanya
dilaksanakan pada hari sabtu atau minggu.
Fase sekolah menengah atas memaksa mereka
untuk semakin serius menggeluti bidang masing-
masing. Jika mereka memilih sepakbola, maka
mereka harus menjalaninya dengan serius.
Mereka akan benar-benar menghabiskan waktu
yang mereka miliki untuk berlatih sepakbola, dan
harus mengorbankan banyak waktu untuk
bersenang-senang.
Waktu sepulang sekolah akan total dihabiskan
untuk berlatih sepakbola. Klub profesional di
Jepang menggelar latihan untuk kelompok youth
setiap hari setelah anak-anak pulang dari
sekolah. Serta hari Sabtu dan Minggu akan
digunakan untuk waktu pertandingan.
Klub sepakbola di sekolah juga melakukan hal
yang serupa. Seluruh klub sepakbola di sekolah
melakukan latihan 5 kali dalam seminggu. Hari
sabtu dan minggu juga dilakukan klub-klub
sepakbola di sekolah untuk menggelar
pertandingan. Dengan begitu, anak-anak yang
berlatih di klub sekolah juga akan mendapatkan
porsi yang sama dengan yang berlatih di klub
profesional.
Setelah fase sekolah menengah, mereka baru
benar-benar dihadapkan untuk memilih jalan
hidup mereka. Mereka bisa langsung memilih
berprofesi sebagai pemain sepakbola profesional.
Namun mereka juga bisa sedikit menunda karir
profesional mereka dengan menjalani kuliah di
universitas terlebih dahulu.
Selama di universitas mereka tetap bisa
bergabung dengan klub sepakbola di universitas
sehingga kemampuan bermain mereka tetap bisa
terasah. Mereka kemudian bisa memulai karier
profesional setelah menyelesaikan kuliah
mereka.
Pada intinya, ada banyak pilihan jalan bagi anak-
anak di Jepang untuk menjadi pemain sepakbola.
Bergabung dengan akademi klub profesional
bukan menjadi satu-satunya jalan. Memang
sebagian besar pemain sepakbola Jepang adalah
anak-anak yang telah bergabung di akademi klub
profesional sejak kecil. Namun ada juga
beberapa yang memilih klub sekolah untuk
berlatih di masa kecil.
Shunsuke Nakamura menjadi contoh pemain
yang berkembang dengan bergabung bersama
klub sekolah. Pemain yang terkenal dengan
kemampuan tendangan bebasnya ini memang
bergabung ke salah satu akademi klub sepakbola
saat sekolah dasar. Namun dia memilih untuk
berlatih di klub sekolah saat memasuki sekolah
menengah.
Prestasinya yang gemilang pada kejuaraan
sepakbola antar sekolah membuatnya
mendapatkan kontrak profesional dari Yokohama
Marinos setelah lulus sekolah. Nakamura pun
memulai karir profesionalnya setelah itu.
Yuto Nagatomo memiliki kisah lain. Pemain Inter
Milan ini baru menjalani karir profesionalnya
pada umur 21 tahun. Sama seperti Nakamura, dia
memilih untuk berlatih di klub sekolahnya saat
sekolah menengah. Higashi Fukuoka High School
menjadi tempatnya menjalani latihan di usia
muda.
Setelah lulus sekolah pun Nagatomo masih
melanjutkan pendidikan. Dia lanjut kuliah di Meiji
University. Nagatomo baru memulai karir
profesionalnya setelah lulus dari Meiji University
dan mendapatkan kontrak dari Tokyo F.C.
Pertanyaan yang muncul setelah ini adalah,
bisakah Indonesia untuk meniru apa yang
dilakukan oleh Jepang?
Saya hanya ingin menjawab pertanyaan ini
dengan beberapa pertanyaan lainnya. Bukankah
anak sekolah di Indonesia juga selesai belajar
pada pukul 14.00-16.00? Bukankah hampir semua
sekolah di Indonesia juga memiliki klub
sepakbola? Memang tidak ada klub profesional
yang memiliki akademi, tapi bukankah ada
banyak sekolah sepakbola di Indonesia?
Jadi bisa atau tidak? Silakan dijawab sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar